Menilik Royalti Melalui Definisi dan Landasan Hukum


Fungsi royalti untuk melindungi pemilik HAKI atau pemegang HAKI atas hak cipta, hak merk dagang, hak patent, hak distribusi, atau hak-hak lainnya. Namun dalam rangka impor, royalti dan biaya lisensi harus ditambahkan dalam nilai pabean apabila dibayar oleh pembeli secara langsung dan tidak langsung, merupakan persyaratan penjualan barang impor, berkaitan dengan barang impor yang sedang ditetapkan nilai pabeannya, dan belum termasuk dalam harga yang sebenarnya dibayar atau yang seharusnya dibayar.

--------------------------
Dalam era globalilsasi seperti saat ini, Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) telah menjadi alat perdagangan dan alat persaingan dalam perdagangan internasional. Secara harfiah HAKI merupakan hak eksklusif yang diberikan suatu peraturan kepada seseorang atau sekelompok orang atas karya ciptanya. Singkatnya HAKI mencakup hak cipta, hak paten dan hak merk. Namun jika dilihat lebih rinci HAKI merupakan bagian dari benda, yaitu benda tidak berwujud (benda imateriil)seperti informasi, ilmu pengetahuan, teknologi, seni, sastra, keterampilan dan sebagainya yang tidak mempunyai bentuk tertentu. Untuk melindungi HAKI atas hak cipta, hak merk dagang, hak patent, hak distribusi, atau hak-hak lainnya maka pengguna HAKI diharuskan membayarkan sejumlah royalti kepada pemilik atau pemegang HAKI.
Di Indonesia, permasalahan terkait HAKI kerap muncul antara pemerintah dengan pemilik HAKI. Indonesia sendiri sempat masuk peringkat Priority Watch List oleh Amerika karena praktek pembajakan atas HAKI di Indonesia dianggap merugikan HAKI milik warga AS karena berpeluang hilangnya sejumlah royalti dari HAKI tersebut. Namun setelah pemerintah melakukan serangkaian penegakkan hukum dan penyempurnaan peraturan Indonesia tidak lagi masuk peringkat Priority Watch List. Sementara itu, disisi lain pemerintah Indonesia juga mengingatkan kewajiban yang harus dibayarkan, dalam hal ini barang impor, pemilik HAKI dari royalti yang mereka dapat dari eksplorasi barang-barangnya di Indonesia.
Sebelum masuk pada penerapan royalti dan bagaimana prakteknya di Indonesia, ada baiknya kita mencermati pengertian dari royalti serta payung hukum yang melandasi penerapannya di Indonesia.

Peraturan Terkait Royalti
            Sebagai salah satu negara yang tergabung dalam World Trade Organization (WTO), tentunya Indonesia juga mengadop ketentuan-ketentuan yang disepakati dalam organisasi perdagangan internasional tersebut. Salah satunya adalah ketentuan mengenai royalti yang  merujuk pada WTO Valuation Agreement atau WTO Customs Agreement.
         Dalam Pasal 8 ayat 1(c). WTO Valuation Agreement (1994), dinyatakan bahwa dalam menetapkan nilai pabean berdasarkan ketentuan Pasal 1 (nilai transaksi), perlu ditambahkan nilai-nilai tertentu pada harga yang sebenarnya dibayar atau yang seharusnya dibayar, antara lain adalah royalti dan biaya lisensi yang berkaitan dengan barang impor yang sedang ditetapkan nilai pabeannya yang harus dibayar oleh pembeli secara langsung atau tidak langsung, sebagai persyaratan penjualan barang yang bersangkutan, sepanjang royalti dan biaya lisensi tersebut belum termasuk dalam harga yang sebenarnya atau yang seharusnya dibayar.
            Sedangkan ketentuan mengenai royalti yang berlaku didalam negeri diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Kepabeanan, Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 160/PMK.04/2010 tentang Nilai Pabean Untuk Penghitungan Bea Masuk yang berlaku sejak tanggal 1 Oktober 2010 serta Keputusan Direktur Jenderal Bea dan Cukai No. KEP-81/BC/1999 tanggal 31 Desember 1999 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penetapan Nilai Pabean untuk Penghitungan Bea Masuk.
            Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang tentang Kepabeanan menyatakan bahwa nilai pabean untuk penghitungan bea masuk adalah nilai transaksi dari barang yang bersangkutan. Dijelaskan lebih lanjut dalam Penjelasan Pasal 15 ayat (1) menyatakan yang dimaksud nilai transaksi yaitu harga yang sebenarnya dibayar atau yang seharusnya dibayar oleh pembeli kepada penjual atas barang yang dijual untuk diekspor ke dalam Daerah Pabean ditambah dengan, antara lain royalti dan biaya lisensi yang harus dibayar oleh pembeli secara langsung atau tidak langsung sebagai persyaratan jual beli barang impor yang dinilai, sepanjang royalti dan biaya lisensi tersebut belum termasuk dalam harga yang sebenarnya dibayar atau yang seharusnya dibayar dari barang impor yang bersangkutan.
            PMK No. 160/PMK.04/2010 Pasal 2 ayat (1) menyatakan bahwa Nilai pabean untuk penghitungan bea masuk adalah nilai transaksi dari barang impor yang bersangkutan yang memenuhi syarat-syarat tertentu. Selanjutnya dalam Pasal 5 ayat (1) menyatakan bahwa Nilai transaksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) merupakan harga yang sebenarnya dibayar atau yang seharusnya dibayar oleh pembeli kepada penjual atas barang yang dijual untuk diekspor ke dalam Daerah Pabean ditambah dengan biaya-biaya dan/atau nilai-nilai yang harus ditambahkan pada nilai transaksi sepanjang biaya-biaya dan/atau nilai-nilai tersebut belum termasuk dalam harga yang sebenarnya dibayar atau yang seharusnya dibayar.
            Biaya-biaya dan/atau nilai-nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dijelaskan lagi dengan Pasal 5 ayat (3) yang menyatakan bahwa menyatakan bahwa berupa, antara lain royalti dan biaya lisensi yang harus dibayar oleh pembeli secara langsung atau tidak langsung sebagai persyaratan jual beli barang impor yang dinilai, sepanjang royalti dan biaya lisensi tersebut belum termasuk dalam harga yang sebenarnya dibayar dari barang impor yang bersangkutan;
            Kemudian yang dimaksud Harga yang sebenarnya dibayar atau yang seharusnya dibayar pada pasal 5 ayat (1) dijelaskan dalam  Pasal 5 ayat (4) menyatakan bahwa yaitu total pembayaran atas barang yang diimpor, yang telah dibayar atau akan dibayar oleh pembeli kepada penjual atau untuk kepentingan penjual.
Sedangkan Keputusan Direktur Jenderal Bea dan Cukai No. KEP-81/BC/1999 tanggal 31 Desember 1999 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penetapan Nilai Pabean untuk Penghitungan Bea Masuk, halaman 5, paragraf 3, pasal 5, ayat 1c, mengatur tentang kondisi dimana royalti dan biaya lisensi dapat ditambahkan dalam nilai pabean apabila:
i)          Dibayar oleh pembeli secara langsung dan tidak langsung;
ii)         Merupakan persyaratan penjualan barang impor;
iii)        Berkaitan dengan barang impor yang sedang ditetapkan nilai pabeannya; dan
iv)        Belum termasuk dalam harga yang sebenarnya dibayar atau yang seharusnya dibayar.

Definisi Royalti
Organization of Economic Cooperation and Development (OECD) dalam ASEAN Customs Valuation Guide (2005) pada angka 1.6. butir (t) menyebutkan definisi dari royalti. Royalti dan lisensi merupakan segala macam pembayaran yang berhubungan dengan penggunaan, hak untuk menggunakan, karya hak cipta literatur, artistik atau ilmiah termasuk juga sinematografi, film, paten, merk, desain atau model, plan, rumus, atau proses rahasia, atau penggunaan atau hak untuk menggunakan peralatan industri, komersil atau ilmiah, atau menggunakan informasi tentang pengalaman industri, komersil atau ilmiah.
Sedangkan di dalam Penjelasan Pasal 8 ayat 1(c). WTO Valuation Agreement (1994), royalty berhubungan dengan hak merk dagang, hak cipta, hak patent, dan hak distribusi atau hak penjualan kembali barang impor. Kemudian dalam Lampiran I Keputusan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor : Kep-81/BC/1999 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penetapan Nilai Pabean untuk Penghitungan Bea Masuk juga disebutkan bahwa royalti dan lisensi adalah pembayaran yang berkaitan antara lain dengan paten, merk dagang dan hak cipta.
Dijelaskan oleh Kasubdit Nilai Pabean, Widhi Hartono, “Dari definisi royalti dapat dipahami bahwa royalti berhubungan dengan penggunaan atau hak untuk menggunakan dari karya hak cipta literatur, artistik atau ilmiah, dimana termasuk disini adalah sinematografi, film, paten, merk, desain/model, plan, rumus, atau proses yang sifatnya rahasia/khusus. Dan penggunaan atau hak untuk menggunakan peralatan industri, komersil atau ilmiah, atau menggunakan informasi tentang pengalaman industri komersil atau ilmiah. Sedangkan di dalam Penjelasan pasal 8 ayat (1)c. WTO valuation agreement (1994), royalti berhubungan dengan hak merk dagang, hak cipta, hak patent, dan hak distribusi atau hak penjualan kembali barang impor”
Direktur Teknis Kepabeanan, Heri Kristiono menjelaskan, “Filosofi yang mendasari pengenaan royalti pada barang impor adalah berdasarkan WTO Valuation Agreement, dimana nilai pabean barang impor adalah nilai transaksi yaitu nilai yang sebenarnya dibayar dan seharusnya dibayar oleh pembeli (importir) kepada penjual (eksportir) di luar negeri ditambah dengan biaya-biaya tertentu. Apabila atas barang yang diimpornya, seorang pembeli selain membayar harga tertentu sebagaimana disebutkan dalam invoice, juga masih mempunyai kewajiban membayar sejumlah nilai tertentu (misalnya atas royalti barang impor tersebut) kepada penjual yang dibayarkan baik secara langsung atau tidak langsung, berarti harga  barang yang diimpornya adalah keseluruhan nilai yang terkandung dalam barang impor tersebut, yaitu harga fisik barang itu sendiri (misalnya diukur dari harga pembuatannya) dan nilai lain yang terkandung didalamnya (misalnya berupa royalti yang dibayarkan karena adanya hak atas kekayaan intelketual barang tersebut).”

Royalti Didalam Nilai Pabean
Saat ini banyak sekali perusahaan multinasional sebagai pemilik atau pemegang HAKI memberikan lisensi kepada perusahaan di negara lain. Lisensi ini bisa mencakup proses produksi, design, kualitas, kuantitas, harga, pemasaran dan distribusi atau disebut sebagai exclusive license, tapi bisa juga hanya sebagian hak tersebut diberikan, misalnya hanya untuk proses produksi, sedangkan design, harga, kualitas, dan pemasaran diserahkan kepada perusahaan di negara lain atau digunakan sendiri.
Dalam pola perdagangan semacam ini, dimana hak-hak itu hanya diberikan sebagian atau non exclusive license, kemungkinan adanya pembayaran royalti kepada pihak ketiga selalu terjadi. Apabila perusahaan di negara pengekspor hanya memperoleh lisensi untuk memproduksi, maka importir atau pembeli harus membayar royalti untuk hak lainnya kepada perusahaan pemegang hak, sebagai pihak ketiga di negara lain.
Dalam hal ini posisi Indonesia yang pada umumnya adalah sebagai pembayar Hak atas Kekayaan Intelektual (HAKI) atas barang yang diimpor, tentu akan lebih menguntungkan apabila setiap pembayaran itu termasuk dalam nilai pabean, terutama dari sudut pandang kepabeanan, walaupun akan berbeda masalahnya apabila dilihat dari sudut pandang perpajakan nasional yang lebih fokus pada besar kecil keuntungan perusahaan
 “Mekanisme penghitungan royalty sangat tergantung dari agreement masing-masing importir serta kondisi transaksi perdagangannya. Perhitungannya tentunya hanya dengan menambahkan nilai royalti ke dalam nilai pabean. Formulasi penghitungan bea masuk sama seperti importasi lainnya yaitu dengan mengalikan tarif dengan nilai pabeannya dalam rupiah,” lanjut Widhi.
Merujuk dari tulisan Nanik Susilawati Rizain pada WBC edisi 402 yang mengatakan bahwa dalam transaksi impor, pada umumnya perjanjian royalti dituangkan dalam kontrak yang terpisah dengan kontrak penjualan, dimana secara eksplisit akan diatur ketentuan untuk membayar royalty atau biaya lisensi. Namun demikian, tidak selalu secara eksplisit dinyatakan bahwa royalty merupakan persyaratan penjualan sebagai akibat pembelian barang impor. Perjanjian royalty dapat saja terjadi antara seller sebagai licenser dengan buyer sebagai licensee. Jika royalty atau lisensi dibayar kepada seller untuk memenuhi ketentuan dalam kontrak penjualan, ini jelas-jelas persyaratan penjualan atas barang impor tersebut. Dalam kasus lain, royalty dapat juga dibayarkan kepada pihak ketiga (licenser) sebagai konsekuensi dari perjanjian royalty antara pembeli dengan pihak ketiga.
Jarang sekali atau boleh dikata tidak ada PIB yang mencantumkan nilai royalti ataupun adanya pemberitahuan tentang pembayaran royalti yang belum diperhitungkan dalam nilai pabean (nilai invoice). Adanya pembayaran royalti oleh suatu perusahaan, umumnya ditemukan melalui proses audit kepabeanan. Hal ini dapat disebabkan karena pembayaran royalty pada umumnya dihitung atas dasar pendapatan yang diperoleh dari penjualan atau penggunaan barang impor, sehingga besarannya dapat diketahui setelah proses penjualan kembali barang impor tersebut. Kalaupun ada pemberitahuan yang langsung mencantumkan nilai royalty, biasanya penghitungannya menggunakan estimasi berdasarkan jumlah penjualan tahun-tahun sebelumnya.
Jadi, seperti yang disimpulkan Moh. Firstananto dalam opininya pada WBC edisi 406 bahwa karakteristik royalti umumnya didasari perjanjian lisensi yang dibuat sebelum atau sesudah importasi. Sedangkan mengenai perhitungan royalti berdasarkan persentase dari harga jual/nilai penjualan kembali barang impor di Daerah Pabean DPIL tetap memenuhi persyaratan “berkaitan dengan barang impor” karena barang yang dijual tersebut adalah barang yang sama yang juga merupakan barang impor itu sendiri dan yang terpenting pada barang tersebut terdapat HAKI, sehingga “berkaitan dengan barang impor” disini lebih ditekankan bahwa esensi dari pembayaran royalti tersebut karena adanya HAKI pada barang impor tersebut, bukan cara perhitungannya, karena ada juga pembayaran royalti yang tidak berdasarkan pada persentase dari harga jual tetapi royalti dibayarkan dalam jumlah tertentu yang disebutkan dalam perjanjian tanpa dikaitkan dengan omset penjualan yang dibayarkan secara periodik selama periode perjanjian.
Namun yang umum ditemui adalah pembayaran royalti yang dihitung berdasarkan persentase dari harga jual/nilai penjualan kembali ke DPIL. Tentang perhitungan royalti berdasarkan persentase dari harga jual/nilai penjualan juga disebut dalam paragraph 6 information document dan hal ini dapat dimengerti karena lebihfair bagi kedua belah pihak penjual dan pembeli dengan menghitung pembayaran royalti atas barang-barang impor yang laku terjual saja.
Tri Andini Kusumandari dalam tulisannya pada WBC edisi 433 memberikan panduan pada pihak kepabeanan mengenai elemen-elemen penting dalam menentukan apakah suatu biaya atau lisensi yang dibayar pembeli harus ditambahkan kedalam nilai transaksi biasanya adalah:
-          Cara penentuan nilai royalti
-          Kepada siapa royalti tersebut dibayarkan
-          Apakah pemilik hak patent (licensor) dan penjual merupakan orang yang sama
-          Apakah pembeli dapat memperoleh (membeli) barang impor tanpa membayar royalti
-          Sejauh mana pengawasan (control) oleh pihak licensor

Selama ini tidak banyak importir yang menyatakan bahwa ada royalti selain harga yang dibelinya. Menanggapi hal ini, Widhi menjelaskan, “Secara umum disinyalir sangat sedikit atau bahkan mungkin belum ada importir yang secara suka rela memberitahukan adanya royalti, hal ini juga disebabkan tidak semua royalti harus dikenakan bea masuk. Dimana ada dua syarat pokok yang harus dipenuhi sehingga suatu royalti dapat dikenakan bea masuk, yaitu terkait dengan barang impor yang sedang diteliti nilainya, serta merupakan syarat penjualan barang impor tersebut. Disamping itu juga disebabkan karakteristik dari royalti yang baru dapat diketahui atau dihitung setelah barang di impor atau dengan kata lain pada saat pengajuan pemberitahuan impor barang barang, nilai royalti belum diketahui atau belum dapat dihitung. Untuk menentukan hal tersebut tentunya harus dilakukan re-assessment atas pemberitahuan importir yang dilakukan secara self assessment melalui mekanisme penelitian ulang atau audit kepabeanan. (Irwan)

Artikel ini pernah dimuat di Majalah Warta Bea Cukai Edisi - 438

1 komentar:

  1. proses pembuatan HAKI ini berlangsung berapa lama min? dan syarat apa saja yang dibutuhkan untuk proses tersebut? Cara Membuat Website

    BalasHapus

Diberdayakan oleh Blogger.

Copyright © / CYP's note

Template by : Urang-kurai / powered by :blogger