Kementerian Keuangan Adopsi Balanced Scoredcard Untuk Mengukur Kinerja


Organisasi pemerintah sebagai institusi publik di era sekarang ditantang untuk memenuhi harapan berbagai kelompok stakeholders yang mengharuskan organisasi pemerintah untuk bertindak profesional sebagaimana yang dilakukan oleh organisasi swasta. Hal ini kemudian mendorong Kementerian Keuangan sebagai inisiator reformasi birokrasi institusi publik untuk menerapkan Balanced Scorecard (BSC) dalam mengukur kinerjanya.

----------------------------------------
Di sektor swasta, perkembangan dunia bisnis yang semakin kompetitif menyebabkan perubahan besar luar biasa dalam persaingan, produksi, pemasaran, pengelolaan sumber daya manusia, dan penanganan transaksi antara perusahaan dengan pelanggan dan perusahaan dengan perusahaan lain. Agar tetap eksis, suatu organisasi dituntut untuk selalu mengembangkan diri agar dapat diterima di lingkungan global, salah satunya adalah dengan selalu mengukur kinerjanya.
Banyak metode untuk mengukur kinerja suatu organisasi, diantaranya dengan metode Malcolm Baldridge National Quality Award (MBNQA), Balanced Scorecard, Six Sigma, dan sebagainya. Dari sekian banyak metode pengukuran kinerja, Balanced Scorecard (BSC) merupakan salah satu metode yang banyak digunakan di sejumlah organisasi terkemuka di dunia. BSC didefinisikan sebagai suatu alat penilaian kinerja yang dapat membantu organisasi menerjemahkan visi dan strategi kedalam aksi dengan memanfaatkan sekumpulan indikator keuangan dan non-keuangan yang semuanya terjalin dalam hubungan sebab akibat. Scorecard dapat diartikan sebagai “kartu nilai” terhadap hasil pencapaian kinerja perusahaan.
BSC adalah salah satu metode perencanaan strategi yang memiliki kelebihan-kelebihan dibandingkan metode lain, di antaranya:
1. BSC berfungsi sebagai alat komunikasi diantara stakeholders (pemangku kepentingan) organisasi. Para stakeholders dapat melakukan review terhadap strategi dan pencapaian, sehingga dapat mengatasi masalah vision barier;
2. BSC memungkinkan organisasi memetakan semua faktor utama dalam organisasi baik yang bersifat tangible maupun intangible;
3. BSC memungkinkan organisasi mengaitkan strategi yang dibangun dengan dengan proses pelaksanaannya, dan proses pelaksanaan dapat dipantau tingkat pencapaiannya dengan menggunakan Key Performance Indicator/KPI. Hal ini dapat mengatasi people dan management barrier;
4. BSC memiliki konsep sebab akibat sehingga pelaku strategi mendapat gambaran yang jelas bahwa bila strategi yang berada dalam tanggung jawab mereka dapat tercapai dengan sukses. Hal ini memperkuat kerjasama dan mengatasi masalah sumber daya manusia dan hambatan manajemen;
5. BSC membantu proses penyusunan anggaran, karena dari BSC dapat diketahui kegiatan apa saja yang akan dilakukan organisasi untuk mencapai target-targetnya dari kegiatan sehari-hari sampai proyek-proyek khusus. Hal ini dapat mengatasi masalah sumber daya manusia dan hambatan manajemen.

Balanced Scorecard dimulai dan diperkenalkan pada awal tahun 1990 di Amerika Serikat oleh David P Norton dan Robert Kaplan melalui suatu riset tentang “Pengukuran kinerja dalam organisasi masa depan”. Istilah balanced scorecard terdiri dari dua kata yaitu balanced (berimbang) dan scorecard (kartu skor). Kata berimbang (balanced) dapat diartikan dengan kinerja yang diukur secara berimbang dari dua sisi yaitu sisi keuangan dan non keuangan, mencakup jangka pendek dan jangka panjang serta melibatkan bagian internal dan eksternal. Sedangkan pengertian kartu skor (scorecard) adalah suatu kartu yang digunakan untuk mencatat skor hasil kinerja baik untuk kondisi sekarang ataupun untuk perencanaan di masa yang akan datang.
Implementasi balance scorecard tergantung dari kebijakan organisasi. Untuk itu dibutuhkan beberapa hal dalam mempermudah penggunaan BSC :
a. Strategy Map
Masing-masing perspektif harus saling terkait satu sama lain sehingga realisasinya merupakan satu rangkaian, yang nantinya kita akan memperoleh satu peta strategi yang secara jelas menunjukkan bagaimana visi dan misi diterjemahkan menjadi bagian-bagian yang operasional yaitu sasaran dan strategi untuk mencapainya.
b. Penentuan scorecard
Tidak mudah untuk menyepakati suatu ukuran tertentu karena selalu ada unsur konflik antar bagian. Jadi harus ada pemahaman yang mendalam saat memulai perencanaan strategis. Diawali dengan identifikasi yang sesuai agar bisa ditentukan apa yang menjadi tujuan dan kegiatan serta ukuran yang akan diterapkan.
Kunci penerapan BSC adalah pertama, keterlibatan pemimpin senior, kedua, mengartikulasi visi dan strategi perusahaan, ketiga, mengidentifikasi kategori kinerja yang menghubungkan visi dan strategi terhadap hasil, keempat, terjemahkan papan nilai kepada tim, devisi dan tingkat fungsi, kelima, kembangkan pengukuran yang efektif dan standar yang berarti, keenam, kenakan penganggaran yang tepat, ketujuh, melihat BSC sebagai proses yang kontinus dan kedelapan, percaya bahwa BSC sebagai fasilitator perubahan kultur dan organisasi.
c. Implementasi scorecard
Pada awalnya merupakan papan nilai yang dinilai seimbang antar berbagai perspektif untuk menilai keberhasilan suatu perusahaan. Hal ini menjadi krusial bukan hanya karena menyangkut banyak hal tapi juga karena adanya ukuran yang seimbang diharapkan bahwa capaian dan kinerja satu perusahaan dapat berkelanjutan. Dalam implementasinya, BSC memerlukan strategi yang merupakan koreksi terhadap kelemahan strategi pada umumnya.

Metode BSC ini menggunakan empat standar perspektif BSC yaitu financial, customer, internal business process, dan learning and growth.
- Perspektif financial
BSC dibangun dari studi pengukuran kinerja di sektor bisnis, sehingga yang dimaksud perspektif financial di sini adalah terkait dengan financial sustainability. Perspektif ini digunakan oleh shareholder dalam rangka melakukan penilaian kinerja organisasi. Apabila dinarasikan akan berbunyi: ”organisasi harus memenuhi sebagaimana harapan shareholder agar dinilai berhasil oleh shareholder”.
- Perspektif customer
Perspektif customer adalah perspektif yang berorientasi pada pelanggan karena merekalah pemakai produk/jasa yang dihasilkan organisasi. Dengan kata lain, organisasi harus memperhatikan apa yang diinginkan oleh pelanggan.
- Perspektif internal business process
Perspektif internal business process adalah serangkaian aktivitas yang ada dalam organisasi untuk menciptakan produk/jasa dalam rangka memenuhi harapan pelanggan. Perspektif ini menjelaskan proses bisnis yang dikelola untuk memberikan layanan dan nilai-nilai kepada stakeholder dan customer.
- Perspektif learning & growth
Perspektif learning & growth adalah perspektif yang menggambarkan kemampuan organisasi untuk melakukan perbaikan dan perubahan dengan memanfaatkan sumber daya internal organisasi. Kesinambungan suatu organisasi dalam jangka panjang sangat bergantung pada perspektif ini.

Keempat perspektif di atas harus dipandang sebagai suatu “model (template)” yang bersifat fleksibel, baik jumlah maupun penamaannya yang disesuaikan dengan karakteristik suatu organisasi.

Kemenkeu gunakan BSC
Umumnya, metode BSC digunakan di sektor swasta. Namun, paradigma baru menuntut institusi publik meningkatkan orientasinya pada stakeholder. Organisasi pemerintah sebagai institusi publik juga ditantang untuk memenuhi harapan berbagai kelompok stakeholders (yaitu penerima layanan, karyawan, lembaga pemberi pinjaman/hibah, masyarakat, dan pembayar pajak). Tuntutan ini mengharuskan organisasi pemerintah untuk bertindak profesional sebagaimana yang dilakukan oleh organisasi swasta. Dengan begitu, diharapkan institusi publik menjadi akuntabel, kompetitif, ramah rakyat, dan berfokus pada kinerja.
Agar organisasi pemerintah dapat berfokus pada strategi yang sudah dirumuskan, maka organisasi pemerintah juga harus menterjemahkan strategi ke dalam terminologi operasional, menyelaraskan organisasi dengan strategi, memotivasi staf sehingga membuat strategi merupakan tugas setiap orang, menggerakkan perubahan melalui kepemimpinan eksekutif, dan membuat strategi sebagai suatu proses yang berkesinambungan.
            Kementerian Keuangan (Kemenkeu) sebagai inisiator reformasi birokrasi institusi publik, telah menerapkan BSC sebagai alat pengukuran kinerja sejak akhir tahun 2007. Dilatarbelakangi peningkatan kinerja sebagai salah satu tujuan reformasi birokrasi Kementerian Keuangan yakni public services, performance improvement, dan good governance, seperti yang tertuang dalam  KMK No. 30/KMK.01/2007 sebagai landasan reformasi birokrasi Kemenkeu, maka Kementerian Keuangan berupaya menata organisasi, menyempurnakan proses bisnis, meningkatkan manajemen SDM dan mengukur kinerjanya, komunikasi publik serta monitoring melalui program reformasi birokrasi di tahun 2008. Hal tersebut yang mendorong Kementerian Keuangan menggunakan metode BSC untuk mengelola kinerjanya.
Penerapan BSC bagi Kemenkeu ini relatif baru apabila dibandingkan dengan beberapa instansi pemerintah lainnya yang telah mengadopsi metode BSC seperti Bank Indonesia (tahun 2003), Badan Pemeriksa Keuangan (2006), Komisi Pemberantasan Korupsi (2006), dan institusi publik lainnya. Pengelolaan kinerja berbasis BSC di lingkungan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) didasarkan pada Keputusan Menteri Keuangan (KMK) Nomor 12/KMK.01/2010 tentang Pengelolaan Kinerja di Lingkungan Departemen Keuangan. Keputusan tersebut mengatur tentang penetapan pengelola kinerja, kontrak kinerja, penyusunan dan perubahan peta strategi, Indikator Kinerja Utama (IKU), dan target, serta pelaporan capaian kinerja triwulanan kepada Menteri Keuangan.
            Keputusan menggunakan BSC ini dihasilkan berdasarkan pertemuan selama dua hari pada bulan Oktober 2007 yang dilakukan Menteri Keuangan dan seluruh pejabat Eselon I dan beberapa pejabat Eselon II di lingkungan Kementerian Keuangan dan dibantu oleh konsultan dari GML Performance Consulting. Pertemuan ini menghasilkan lima peta yang berisi lima tema yaitu tema pendapatan, tema belanja, pembiayaan, kekayaan negara, dan pasar modal. Pada 12 Desember 2007 dalam Rapat Pimpinan di Denpasar diputuskan bahwa Depkeu akan mengukur kinerja dengan balanced scorecard dengan lima tema sebagai dasar. Dan di pertengahan 2008 sampai 2009 Kemenkeu menurunkan (cascade) sampai ke level eselon II.

Refinement Depkeu Wide
Pada awal pengembangannya, peta strategi Kemenkeu terdiri atas lima peta yang menggambarkan tema pendapatan negara, belanja negara, pembiayaan APBN, kekayaan negara, serta pengawasan pasar modal dan lembaga keuangan. Lima tema tersebut menghasilkan 86 sasaran strategis (SS) dengan 206 IKU.
Kepala Bagian Perencanaan dan Evaluasi Indikator Kinerja Utama (PEIKU) Pusat Harmonisasi Kebijakan (Pushaka) Kementerian Keuangan, Supendi menjelaskan bahwa Depkeu-Wide mengalami refinement /perbaikan. Lima peta yang digunakan Kemenkeu ketika itu, di awal tahun 2009 diperbaiki menjadi satu peta strategi yang terdiri atas empat perspektif BSC. “Hal ini dilakukan, karena terlalu banyak dan rumitnya monitoring atas IKU dari lima peta tersebut. Executive summary dari lima tema menjadi satu tema terjadi setelah kami press karena sebelumnya ada pekerjaan level bawah yang naik ke atas. Dalam satu tema tersebut terdapat 20 SS dengan jumlah IKU 26,” jelas Supendi.
Penyempurnaan peta strategi Depkeu-Wide dilakukan dengan mengintegrasikan lima peta strategi menjadi satu peta strategi. Metode pengintegrasian yang telah dilaksanakan adalah :
  1. Brainstorming untuk penyusunan satu peta strategi level Menkeu melalui pemilihan Sasaran Strategis (SS);
  2. Penggabungan SS sejenis yang berasal dari lima peta strategi Depkeu-Wide;
  3. Keterwakilan seluruh unit eselon I sebagai Person In Charge (PIC);
  4. Menentukan IKU strategis dari tiap unit eselon I sebagai IKU Menkeu.

Setelah terbentuknya Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II yang memiliki rencana pembangunan jangka menengah yang harus di-breakdown dalam renstra lima tahunan (2010-2014), maka Depkeu-Wide pun harus disesuaikan. ““Depkeu-Wide harus menyesuaikan dengan Renstra tersebut karena BSC merupakan alat manajemen strategi yang menerjemahkan visi, misi dan strategi yang tertuang dalam Renstra ke dalam suatu peta strategi,” papar Supendi.
Di bulan Februari 2010, dalam Rapat Pimpinan antara Menteri dengan pejabat eselon I disetujui Depkeu-Wide hasil refinement mencakup 16 SS dan 39 IKU. Menurut Supendi, perbedaan utama antara executive summary dengan yang baru adalah pertama, dalam costumer perspective dulu ada 6 SS sekarang dijadikan 2 SS. “Karena ada 5 SS di executive summary yang ternyata ukurannya cuma satu yaitu indeks kepuasan stakeholder yang surveynya dilaksanakan oleh pihak independent dalam hal ini adalah Universitas Indonesia,” jelas Supendi. Kedua, perubahan di learning and growth, dimana ada kalimat yang menyebutkan “mewujudkan good governance” diganti dengan kata “anggaran”. Perubahan ketiga yakni sebagian sasaran strategi di stakeholder perspective yang lama lebih tepat dimasukan di internal proses. “Misalnya seperti tingkat pendapatan yang optimal. Diganti dengan utilisasi kekayaan negara yang optimal,” lanjut Supendi.
           
Pengukuran berjenjang
Balanced Scorecard Kemenkeu yang sudah ditetapkan dalam sasaran strategi harus diturunkan (cascaded) ke seluruh unit organisasi yang ada di bawahnya. Balanced Scorecard Kemenkeu ini disebut Depkeu-Wide sedangkan setelah dicascade ke unit organisasi di bawahnya yaitu ke eselon I disebut Depkeu-One dan ke eselon II disebut Depkeu-Two. Sampai dengan tahun 2009, BSC baru diimplementasikan sampai dengan tingkat eselon II. Direncanakan pada pertengahan tahun 2010 akan dilaksanakan cascading BSC ke level Eselon III (Depkeu-Three). Proses cascading hingga ke level Depkeu-Five, seluruhnya ditargetkan akan selesai disusun di tahun 2011.
Sebagai pilot project, Kemenkeu harus terus meningkatkan kualitas kinerja secara kontinu dan memperbaiki kualitas layanan kepada stakeholder. Untuk itu diperlukan sebuah pakem atau ukuran-ukuran strategis untuk bisa menunjukan adanya kemajuan, yakni dengan Key Performance Indicator (KPI) atau biasa disebut Indikator Kinerja Utama (IKU).
IKU adalah tolak ukur capaian kinerja yang ditetapkan secara strategis yang menggambarkan hasil capaian unit dalam suatu periode waktu. Dengan berbagai  indikator, IKU dapat menjadi alat untuk menggambarkan keberhasilan capaian kinerja unit dalam jangka waktu yang ditetapkan. Hasil-hasil yang telah dicapai dalam penerapan ini selalu dimonitor dan dilaporkan untuk menjadi umpan balik terhadap strategi yang telah dirumuskan sebelumnya.
Pengukuran IKU, yang merupakan bagian dari pilar reformasi mencakup beberapa indikator, yakni learning and growth, strategic outcomes (stakeholder & customer), internal business process. Indikator ini terangkum dalam strategy map yang merupakan peta strategis cerminan hubungan sebab akibat. Setiap IKU akan mengacu kepada peta strategi (strategy map) lima tema Depkeu, seperti yang telah disebut sebelumnya, yakni pendapatan negara, pembiayaan negara, belanja negara, pembiayaan APBN serta pasar modal dan lembaga keuangan nonbank (LKNB). Menurut Supendi, dalam menentukan suatu IKU, harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a.           Menganut prinsip SMART-C (Specific, Measurable, Achievable, Relevant, Time-bounded, dan Continuously improve)
b.          Memiliki relevansi yang sangat kuat dengan sasaran strategisnya (SS-nya)
c.           Kalimat yang disusun bersifat definitif bukan normatif
d.          Memiliki penanggung jawab yang jelas
e.           Mencerminkan keseluruhan tugas dan fungsi organisasi/individu
f.           Dalam satu SS hendaknya terdiri atas 1-2 IKU
g.          Suatu organisasi yang memiliki peta strategi hendaknya memiliki tidak lebih dari 25 IKU, kecuali memiliki “core business” yang sangat heterogen dan menjadi fokus suatu unit.
h.          Suatu organisasi/individu yang tidak memiliki peta strategi hendaknya memiliki tidak lebih dari 10 IKU

Setelah menentukan IKU untuk setiap SS, organisasi perlu menetapkan target untuk setiap IKU. Target adalah suatu ukuran yang ingin dicapai dalam jangka waktu tertentu. Berkaitan dengan penerapan BSC, target umumnya ditetapkan untuk masa 1 tahun. Penentuan besarnya target dapat didasarkan pada beberapa hal seperti pencapaian tahun lalu (baseline), keinginan stakeholder, atau melihat kepada kondisi internal dan eksternal organisasi.
Ditahun 2009, IKU-IKU Depkeu One yang merupakan turunan dari Depkeu Wide Kemenkeu yakni untuk Sekretariat Jenderal adalah 11 Sasaran Strategis dan 32 IKU, IKU Pilihan adalah Persentase pejabat yang telah memenuhi standar kompetensi jabatannya. Untuk Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) yaitu 13 Sasaran Strategis dan 33 IKU, IKU Pilihan adalah Jumlah Penerimaan bea dan cukai.
Sedangkan untuk Ditjen Perbendaharaan yaitu 19 Sasaran Strategis dan 39 IKU, IKU Pilihan adalah Persentase ketepatan penyerapan DIPA K/L. Untuk Ditjen Kekayaan Negara yakni 12 Sasaran Strategis dan 28 IKU, IKU Pilihan adalah Nilai Kekayaan negara yang diutilisasi. Untuk Ditjen Pengelolaan Utang yakni 12 Sasaran Strategis dan 22 IKU, IKU Pilihan adalah pemenuhan target pembiayaan melalui utang.
Kemudian untuk Inspektur Jenderal, ada 14 Sasaran Strategis dan 26 IKU, IKU Pilihan adalah indeks opini BPK atas Laporan Keuangan BA 15 BUN dan BA 999. Untuk Bappepam LK yakni 16 Sasaran Strategis dan 34 IKU, IKU Pilihan adalah rata-rata persentase pertumbuhan nilai transaksi saham harian. Untuk Badan Kebijakan Fiskal (BKF) yakni 12 Sasaran Strategis dan 23 IKU, IKU Pilihan adalah tingkat akurasi proyeksi kebijakan fiskal. Untuk Ditjen Anggaran yakni 13 Sasaran Strategis dan 22 IKU, IKU Pilihan adalah tingkat akurasi exercise I-account.
 Untuk Ditjen Perimbangan Keuangan yakni 12 Sasaran Strategis dan 39 IKU, IKU Pilihan adalah Persentase ketepatan jumlah penyaluran dana transfer ke daerah. Terakhir untuk, Ditjen Pajak, adalah 15 Sasaran Strategis dan 29 IKU, IKU pilihannya adalah jumlah penerimaan pajak.Sementara itu untuk BPPK juga memiliki kontrak kinerja dengan 11 Sasaran Strategis dan 22 IKU, IKU Pilihan adalah Rasio jam pelatihan pegawai terhadap jam kerja Kementerian Keuangan.
Untuk mengelola manajemen kinerja berbasis BSC ini, masing-masing level telah menunjuk salah satu bidang sebagai Strategy Management Office (SMO). Di level Depkeu Wide, Menkeu telah menunjuk Kepala Pusat Harmonisasi Kebijakan (Pushaka) sebagai SMO Kementerian Keuangan untuk mengelola kinerja di tingkat Kementerian Keuangan. Begitu juga di masing-masing unit eselon I telah ditunjuk manajer kinerjanya. DJBC sendiri melalui Keputusan Dirjen Bea dan Cukai no. Kep-19/BC/2010 telah menunjuk Bidang Evaluasi Kinerja Pusat Kepatuhan Internal (Puski) Kepabeanan dan Cukai sebagai SMO DJBC.
Untuk memudahkan sdalam proses input data, monitoring, dan evaluasi dalam mendukung peningkatan kinerja Kemenkeu, telah dibangun suatu sistem aplikasi yang disebut Actuate Performancesoft Views. Perangkat lunak (Software) BSC ini menggunakan aplikasi berbasis web dengan alamat http://iku.depkeu.go.id/views yang dapat diakses menggunakan jaringan intranet oleh pegawai Kemkeu yang mempunyai user account. Aplikasi BSC Kemenkeu ini dikelola oleh administrator pusat (Pushaka) pada level Depkeu Wide dan administrator unit (unit eselon I) pada level Depkeu Wide. (Irwan)

Artikel ini pernah dimuat di Majalah Warta Bea Cukai Edisi - 427




1 komentar:

  1. posting yang sangat menarik, sangat membantu saya dalam memahami konsep BSC di kemenkeu. terima kasih.

    BalasHapus

Diberdayakan oleh Blogger.

Copyright © / CYP's note

Template by : Urang-kurai / powered by :blogger